Kamis, 27 Juni 2013

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Ilmu merupakan sebuah sarana yang digunakan manusia untuk mengenal tuhan yang maha esa, ia merupakan sebuah lentera bagi umat manusia dalam kegelapan, juga pelepas dahaga dalam kehausan,betapa tidak,  dengan ilmu manusia dapat mengenal diri dan tuhannya, dengan ilmu pula manusia dapat berbagi kepada insan lain bagai mana cara mengenal tuhannya, dan sudah barang tentu manusia tersebut terjamin hidup dan matinya ada dalam keharibaan Allah SWT.
Pencari ilmu memiliki berbagai keutamaan, diantaranya mereka akan mendapat jaminan dari Allah SWT, bahwa ia akan dipermudah jalannya  menuju surga oleh Allah SWT, baru saja ia keluar dari rumahnya ia akan mendapatkan pahala besar seperti pahala haji, permohonan ampun  dari segala hal didunia tak terkecuali, dan berkah yang diberikan oleh Allah SWT. Hal itu tidak lain adalah merupakan sebuah kekuatan ilmu dalam meninggikan subjuctivitas pemiliknya.
Ahli ilmu disebut sebagai Al-ulama, ia merupakan title bagi seseorang yang telah memahami ilmu-ilmu Allah, dan dengan ilmunya tersebut ia dapat lebih dekat dengan Allah swt. Kehormatan besar bagi siapa saja yang telah mendapatkan title ulama karena terdapat sebuah hadits yang menyebutkan ورثةالانبياء العلماءulama adalah pewaris para nabi, sedangkan tak ada lagi tingkatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkatan kenabian maka begitupun tak adalagi tingkatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkatan para Ulama.
Namun tidak mudah untuk mendapatkan title tersebut, masih terdapat berbagai syarat yang harus dilalui salah satu diantaranya adalah Amal, seseorang telah akan mencapai tingkatan ulama apabila ia telah mengamalkan ilmunya lebih-lebih ia menyalurkannya pada orang lain. Terdapat beberapa posisi dan kelebihan yang dijanjikan oleh Rasulullah kepada Ahli warisnya yakni para Ulama. Dan hal itu telah terangkum dalam makalah ini yang merupakan teala’ah dari kitab Adabul ‘Alim walmuta’allim .
B.     Rumusan masalah
a.       Apakah keutamaan mencari ilmu?
b.      Seberapa pentingkah Amal sebagai syarat mutlak untuk mendapatkan gelar Ulama?
c.       Apakah makna implisit dan explisit dari Ulama sebagai pewaris para nabi?
d.      Keutamaan apakah yang di garansikan kepada para Ulama?

C.    Tujuan dari pembahasan
Point-point diatas yakni agar kita dapat mengetahui Apakah keutamaan para pencari ilmu serta seberapa urgen posisi amal bagi para penuntu ilmu dan orang yang berilmu agar mendapat gelar Al-Ulama beserta tingkatannya?













BAB II
PEMBAHASAN
A.    Keutamaan Mencari Ilmu
Ilmu merupakan sebuah substansi pokok yang harus di cari dan di asah, sebagaimana hadits Rasul  طلب  العلم فريضة على كل مسلم و مسلمة Mencari ilmu adalah kewajiban bagi setiap orang Islam laki-laki dan perempuan,keberadaanya menuai berkah dan hasanah, setiap insan didunia diwajibkan untuk mencarinya dan menjadikannya sebagai pedoman, ranah kewajiban mencarinya berpusat pada ilmu Agama sebagai ilmu yang bersifat fardhu a’in, sedangkan yang lainnya digolongkan pada fardu kifayah.
Dalam kamus besar bahasa arab disebutkan bahwa pencari ilmu adalah الطالب yang merupaakn isim fa’il dariطلب   يطلب طلباyang bermakna mencari,  menuntut, meminta sesuatu. Lebih spesifik kepada para penuntut atau pencari ilmu maka kamus bahasa menggabungnya dengan kata العلم yang makna spesifiknya adalah siswa,siswi , mahasiswa atau mahasiswi, sedangkan bahasa salafnya dikenal dengan sebutan santri.
Berbicara kewajiban mencari ilmu dan keutamaan mencarinya, adabul alim muta’allim serta ta’limul mutaallim sebagai kitab yang dikenal sebagai kitab kode etik (panduan) santri di pesantren mengutip beberapa hadits Rasulullah yang menerangkan tentang keutamaan-keutamaan mencari ilmu baik yang bersifat dunyawiah ataupun ukhrawiyah, salah satunya adalah :
و طالب  العلم يستغفر له كل شيء حتى الحوت في البحر
“Orang yang mencari ilmu itu akan dimintakan ampun oleh setiap sesuatu yang ada dimuka bumi ini sampai ikan-ikan yang berada di lautan”
Dari hadits di atas dapat kita ambil gambaran bahwa para pencari ilmu akan dimohonkan ampun oleh segala sesuatu didunia ini tak terkecuali, hingga ikan-ikan dilautan, hadits lain menyebutkan :من سلك طريقا يطلب فيه علما سلك الله بهطريقا من طرق الجنة
Barang siapa yang menempuhsuatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mempermudahkan jalannya kesurga.
Makna At-thariq diatas dapat dimaknai dua substansi pertama sebagai jalan secara konkrit yakni pertama, bermakna jalan yang diinjak oleh kaki, seperti orang yang pergi dari rumahnya  ke sekolah/universitas untuk menuntut ilmu.
Kedua, bermakna jalan dalam arti abstrak yaitu mencari ilmu dengan membaca buku, internet, mendengar ceramah radio dll., tanpa harus keluar dari rumahnya (syarahRiyâdh al-Shâlihîn, Muhammad al-Utsaimin
Suatu bukti nyata bahwa ilmu memiliki kekuatan yang nyata dalam meninggikan derajat para pemiliknya, betapapun seseorang baru keluar dari rumahnya melangkah untuk mencari ilmuAgama maka adalah sebuah garansi yang nyata dari Allah bahwa ia akan dijamin akan dimudahkan jalannya menuju surga, bagaimana jika seseorang mencari ilmu terus menerus dan  secara berkesinambungan? Ada berapakah pahala yang akan Allah lipat gandakan atasnya.
Sebagai bukti pendukung dari steatment ini,  kitab ‘Adabul ‘alim wal mutaallim mengutip pula beberapa hadits yang mendukung atas utamanya para pencari ilmu, diantaranya:
من غدا إلى المسجد لا يريد إلا أن يتعلم خيرا أو يعلمه كان له كاجر حج تام
Barang siapa yang berangkat pergi di pagi hari untuk kemasjid, sementara dia tidak menghendaki sesuatu kecuali untuk mempelajari kebaikan atau untuk mengajarkan kebaikan, maka berhak memperoleh pahala seperti pahalanya orang yang melakukan ibadah haji secara sempurna”.
من غدا لطلب العلم صلت عليه الملائكة وبورك له في معيشته
Barang siapa berangkat pergi di pagi hari dengan tujuan mencari ilmu, maka para malaikat akan mendo’akannya dan diberkahi kehidupannya“.
Hadits diatas semakin  memperjelas posisi para pencari ilmu, yang mana Allah memberikan beberapa posisi tinggi dan reward yang berlimpah bagi mereka,baik pada saat mereka baru memulai langkah untuk mengenyam sebuah pendidikan ataupun setelah mereka mendalaminya, hal itu mengapa posisi para ulama hampir disetarakan dengan posisi Rasulullah, dikarenakan jasa-jasanya dan pengabdiannya terhadap ilmu pengetahuan. Bayangkan seseorang yang dengan tulus mencari ilmu tanpa diwajibkan untuk mendapatkannya saja sudah mendapatkan ribuan pahala bahkan tak terhitung adanya, bagai mana dengan para ulama yang senantiasa berkecimpung dalam dunia pendidikan yang tak hanya menjadi pencari namun sebagai pemberi dan penyebar dengan beberapa pengorbanan yang mereka tempuh, maka mampukah kita menghitung pahala mereka?.
B.        Amal Sebagai Syarat atas Gelar Ulama.
Ilmu tanpa amal bagai pohon tanpa buah (العلم بلا عمل كشجر بلا ثمر), begitulah pepatah Arab menyebutkan , sesuatu yang dianggap percuma jika seseorang berilmu namun ilmunya  hanya dijadikan sebagai koleksi semata tak ada niatan untu mengamalkan, baik untuk dirinya sendiri lebih-lebih pada orang lain, maka hal itu sama saja seperti sebuah pohon yang tinggi menjulang dan rindang tapi tidak berbuah sehingga sedikit kemanfaatannya bahkan cenderung tidak ada.
Seseorang akan mendapatkan gelar Al-Ulama apabila ia telah melewati fase ini karena definisi Ulama secara Umum adalahالعالم من عمل بعلمهم Seorang ulama adalah mereka yang melakukan segala sesuatu berdasarkan ilmunya, atau orang yang mengamalkan ilmunya, telah jelas sekali bahwa seseorang akan mendapatkan gelar Ulama apabila ia telah mengalami fase Amal, baik mengamalkan untuk dirinya sendiri ataupun menyebarkannya pada orang lain, mengamalkan pada diri sendiri dalam artian “ia” melakukan tindakan dengan mengamalkan ilmunya, sedangkan mengamalkan bagi orang lain dalam artian “ia” menyebarkannya,dan tidak menjadikan ilmunya sebagai koleksi semata. Allah sangat membenci orang-orang yang menyembunyikan lmu, sebagaimana hadits dari ibnu majjah berikut :
من كتم علما الجمه الله بلجام من النا ر  
Barang siapa yang menyembunyiakan ilmu, Allah akan mengekang dengan kekangan berapi”.
Seorang ulama terjauh dari ancaman hadits diatas karena ia akan senantiasa mengamalkan ilmunya, baik bagi dirinya sendiri ataupun terhadap orang lain.
Amal merupakan ujung ilmu, karena Amal merupakan buah dari ilmu tersebut, sebagaiana disebutkan dalam hadits nabi :
ة فمن ظفر به سعد ومن فاته خسروغاية العلم العمل به لاءنه ثمرته  وفاءدة العمر وزادالاخر
Batas dari ilmu itu adalah amal,karena ia merupakan buah darinya, dan faidah umur serta penambah bekal untuk akhirat, barang siapa berhasil mendapatkannya maka ia akan bahagia, barang siapa yang gagal maka ia merugi”
Dari hadits diatas dapat kita petik bahwa umal merupakan sebuah urgensi yang mengiringi kehadiran ilmu, ilmu no scene tanpa adanya feedback dari amal. Selain sebagai buah dari ilmu, amal juga membantu kita dalam rangka memperpanjang umur kita, memperpanjang bukan dalam artian memanjangkan waktu satu hari menjadi dua hari namun memanjangkan manfaat didalamnya, sehingga satu hari seakan-akan menjadi seratus hari, hal ini disebabkan karena kita menggunakan satu hari tersebut dengan amal-amal perbuatan yang sesuai dengan ilmu Allah swt.
C.    Ulama Sebagai Pewaris Para Nabi.
Ulama adalah sosok sentral dalam dunia pendidikan islam, dimana kedudukannya hampir disamakan dengan posisi Rasulullah saw, ulama mendapatkan gelar tertinggi yang sakral di antara para hamba-hamba Allah, hal itu tidak lain adalah karena pengabdiannya atas ilmu dan ilmu tersebut dapat mebawa hikmah bagi yang mengikutinya untuk mengenal Allah swt lebih jauh lagi, Rasul bersabda bahwa posisi ulama adalah posisi puncak dari posisi hamba-hamba Allah yang bertaqwa,dimana dalam posisi inilah segala hal akan diperoleh,keagungan, kemulyaan, kebangsawanan dan kebanggaan diri tertancap didalamnya, sehingga seorang Ulama akan tercukupi dengan gelar tersebut, sebagaimana hadits Rasul:
ألعلماء ورثة الأنبياء , وحسبك بهذه الدرجات مجدا وفخرا وبهذه الرتبة شرفا وذكرا, وإذا كان لا رتبة فوق النبوة فلا شرف فوق شرف الوراثة لتلك الرتبة
”‘Ulama’ adalah pewaris para Nabi, cukuplah bagimu dengan derajat ini untuk memperoleh sebuah keagunaan dan kebanggaan diri.Dan (cukuplah bagimu) dengan tingkatan ini untuk memperoleh kemuliaan dan panggilan yang agung.Ketika sudah tidak ada lagi tingkatan di atas tingkat kenabian, maka tidak ada satupun kemuliaan yang melebihi kemuliaan warisantingkatan tersebu”.

Hadits diatas menggambarkan betapa mulianya seorang Ulama dalam perspektif islam ketika kita tahu bahwa, mereka dianggap sebagai pewaris para nabi, sehingga keagungan yang mereka miliki hamper disamakan dengan keagungan Rasul atas manusia. Namun perlu digaris bawahi bahwa waris disini bukan mengarah terhadap harta ataupun kekuasaan, akan tetapi lebih mengarah kepada tanggung jawab dalam menyebarkan ilmu, didalam hadits lain di jelaskan :
ان الانبياء لم يورثوا دينارا ولا درهاما وانما ورث العلم فمن اخذه اخذ بحظ وا فر
Ulama adalah pewaris para nabi, mereka(para nabi)tidak mewariskan dinar atau dirham akan tetapi mereka mewariskan ilmu, barang siapa yang mengambilnya (ilmu)maka sungguh dia telah mengambil bagian yang sangat besar[1].

D.    Makna Implisit dan Explisit dari Ulama Sebagai Pewaris Para Nabi.
Dalam hal ini makna implisit dari ulama adalah bahwa bagaimana makna kata ulama secara ketatabahasaan yakni kata Ulama secara bahasa adalah bentuk jamak dari kata ‘aalim yang berupa isim faildari kata dasar ‘ilmu yang berarti orang yang berilmu. Jadi, kata ulama memiliki arti sebagai orang-orang yang mempunyai ilmu.Namun Ulama di sini dititik tekankan kepada orang-orang yang mencari ilmu lantas mereka juga mengamalkan ilmu yang dimiliki. Dengan cara diajarkan kepada orang dengan rasa penuh keikhlasan yang memantapkan niat untuk semata-mata melakukannya di jalan yang diridhoi Allah SWT saja. Akan berbeda jika kemudian membahas tentang bagaimana makna eksplisit ulama itu sendiri.dalam hal ini kita akan melihat seperti apa dan bagaimana ulama secara keseluruhan berikut tentang pandangan-pandangan muslim tentang apakah ulama itu.
Apabila kita mengacu pada ungkapan hadits: al-‘ulama’ waratsatu al-anbiyaa’ (ulama’ merupakan pewaris para nabi) ditambah dalil perintah dalam al-Qur’an: Athii’uu Allaaha wa athii’uu al-Rasuul wa ‘uli al-amri minkum (taatlah kalian pada Allah dan Taatlah kalian kepada Rasul dan taatlah pada ulil amri kalian) tentu dalil ini dapat dijadikan hujjah akan keharusan umat untuk taat pada ulama. Namun apabila kita melihat fenomena ketidaktaatan ummat tersebut diatas, bisa saja muncul dugaan bahwa ulama telah ditinggalkan atau sudah tidak dipercaya lagi oleh ummatnya, sehingga masing-masing mengambil jalannya sendiri.
Selain itu, tidak dapat dipungkiri bahwa ketidak percayaan atau ketidak taatan ummat kepada ulama tersebut bertumpu pada permasalahan legitimasi/otoritas dan ketaatan. Apakah orang-orang yang bergelar Kyai, KH atau Ustadz dalam masyarakat adalah orang-orang yang mempunyai kapasitas sebagai ulama?  Berkaitan dengan ketaatan masyarakat, tentunya tidak lepas dari persepsi mereka (baik masyarakat maupun ulama’) terhadap eksistensi lembaga ulama itu sendiri. Namun berbeda halnya ketika kita meyaksikan bagaimana pendapat masyarakat yang pedalaman atau yang tinggal di sebuah perdesaan. Mereka mungkin akan lebih mempercayai adanya ulama tersebut. Karena dalam hal ini tingkat kepercayaan mereka terhadap agama bisa dibilang lebih dari pada orang yang hidup di perkotaan dan lebih dekat terhadap urusan dunia.
Kemudian jika kita bicara tentang makna implisit serta eksplisit ulama sebagai pewaris para nabi, maka kita seharusnya juga akan melihat seperti apa sifat-sifat para nabi (Shiddiq, Amanah, Tabligh, fathanah), bagaimana perilaku para nabi dan karakteristik lainnya. Sehingga ada beberapa karakteristik yang telah didapat oleh peneliti dari masyarakat muslim. Yakni para ulama adalah seharusnya:
·         Ilmunya tidak dibuat mencari syarat dunia.
·         Ucapannya sama seperti perbuatannya.
·         Melakukan perbuatan terlebih dahulu perbuatan yang akan ia perintahkan.
·         Ketika mencegah seseorang melakukan maka ia mencegah terlebih dahulu.
·         Faham penuh akan  ayat-ayat Al-Qur’an,
·         Mengajar kitab-kitab salaf: fiqh, tajwid, tauhid dsb;
·         Mempunyai halaqoh/kelompok pengajian;
·        Melaksanakan rukun-rukun Islam;
·        Kehidupan rumah tangganya damai, dan anggota keluarganya hidup dalam bingkai norma agama;
·        Senantiasa berdzikir dan ber-istighfar (memohon ampunan);
·        Harus bisa menjadi panutan bagi pengikutnya atau masyarakat;
·        Harus bisa memberi solusi atas problem kehidupan masyarakat/pengikutnya;
·        Harus bisa amar ma’ruf nahi munkar;
·        Ulul albab (orang yang selalu berdzikir dan memikirkan ayat-ayat Allah);
·        Dicintai oleh Allah (menjadi kekasih Allah), menjadi Waliullah;
Demikianlah beberapa karakteristik yang menurut masyarakat muslim seharusnya dimiliki oleh seorang ulama.
E.     Keutamaan-Keutamaan Para Ulama
Seperti yang telah disebutkan di dalam kitab ‘Adabul ‘alim wal-mutaallim, bahwa ada beberapa keutamaan yang akan digaransikan kepada orang yang memiliki ilmu serta mengamalkannya (ulama) baik di dunia maupun diakhirat, di dunia ia akan memiliki keutamaan-keutamaan mendekati keutamaan seorang nabi yaitu serta para ulama memiliki gelar sebagai pewaris para nabi, juga kedudukannya disamakan seperti kedudukan nabi, sebagaimana hadits rasul افضل العالم على العابد كفضلي على ادناكمkeutamaan para ulama bagai keutamaanku atas kalian semua”, subhanallah,,, sungguh besar kesempurnaan para ulama, ketika seorang Rasul mengakui akan ketinggian derajatnya.
Selain dari itu dosa-dosanya akan diampuni sampai ikan-ikan di lautpun akan ikut mendoakan, akan disejahterakan/diberkahhi hidupnya, dan akan mendapatkan pahala sebagaimana pahala ibadah haji manusia yang mabrur/ sempurna.

Terdapat  beberapa pendapat para ulama mengenai hal ini yakni :
Abu Muslim Al-Khaulani rahimahullah berkata : “Para ulama di muka bumi seperti bintang-bintang di langit. Bila bintang-bintang itu tampak, maka orang-orang mengambil petunjuk dengan bintang-bintang itu. dan bila bintang-bintang itu tidak terlihat oleh mereka, mereka menjadi bingung”
Abul Aswad Ad-Duali rahimahullah berkata : “Tidak ada sesuatu yang lebih mulia dari ilmu. Para raja adalah hakim atas manusia sedangkan para ulama adalah hakim atas raja-raja”.
Wahab bin Munabbih rahimahullah berkata : “Akan lahir dari ilmu : kemuliaan walaupun orangnya hina, kekuatan walaupun orangnya lemah, kedekatan walaupun orangnya jauh, kekayaan walaupun orangnya fakir, dan kewibawaan walaupun orangnya tawadhu”.
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata : “Orang yang paling tinggi kedudukannya di sisi Allah Subhaanahu wa Ta’ala adalah orang yang kedudukannya berada di antara Allah dan hamba-hamba-Nya. Mereka adalah para nabi dan para ulama”[2].
Imam As-Syafi’i rahimahullah berkata: “Bila yang disebut wali Allah itu bukanlah para ulama, aku tidak tahu siapa lagi yang dimaksudkan dengan wali Allah itu.”
 Imam As-Syatibi rahimahullah berkata: “Telah tsabit (sah) dalam pokok agama ini bahwa orang alim di kalangan manusia itu menduduki posisi nabi (dalam membina umat), dan para ulama adalah pewaris nabi-nabi.
Sufyan Ibnu ‘Uyainah berkata: “Orang yang paling tinggi kedudukannya di sisi Allah adalah orang yang kedudukannya di antara Allah dan para hambaNya, mereka adalah para nabi dan para ulama.” At-Tastari berkata: “Barangsiapa yang ingin mengetahui majelisnya para nabi, lihatlah majelisnya para ulama, seperti itulah majelis mereka.”
Hasan Al-Bashri berkata: “Ulama itu bagaikan air, di mana mereka berada di situlah mereka memberi manfaat bagi manusia.” Hasan Al-Bashri juga berkata: “Andai tidak ada ulama yang membimbing, niscaya manusia akan berperilaku layaknya hewan.”Sa’id bin Jabir ditanya: “Apa ciri-ciri keruntuhan manusia?” Ia menjawab: “Jika para ulama di tengah-tengah mereka telah hilang, runtuhlah para manusia.” Ibnu Taimiyyah berkata: “Dan orang-orang yang memiliki lisan yang jujur di kalangan umat ini, yang dengannya mereka disanjung dan dihormati di tengah masyarakat, merekalah para ulama pembawa hidayah, kesalahan mereka sangat sedikit dibandingkan kebenaran yang mereka sampaikan”[3].

Dari beberapa paparan diatas sudah merupakan keyword bagi kita untuk emngakui keutamaan para lama didunia yang penuh dengan rahmat, serta ampunan Allah swt, Sedangkan diakhirat nanti, sudah barang tentu mereka akan memasuki surga naim bersama wali-waliullah yang lain, dan merupakan jaminan Allah swt.



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari beberapa pernyataan dan paparan diatas dapat di simpulkan bahwa ilmu dalam kajian subjectif akan dapat mengangkat derajat pemiliknya baik pemilik dalam tingkatan beginner dalam artian masih baru ,memulai mencari ilmu hingga mereka –mereka yang telah bergelut lama dalam dunia pendidikan serta mengamalkan baik bagi dirinya sendiri ataupun terhadap orang lain, atau yang biasa di sebut Al-‘Ulama, namun terdapat beberapa criteria sehingga disebut seorang ulama. Dan ketika seseorang telah mencapai tingkatan ulama maka posisinya hampir disamakan dengan posisi nabi dan keberadaannya dianggap seperti bulan menyinari bintang-bintang.


B.     Saran
Sehingga dapat diharapkan dengan dirampungkannya makalah ini, maka peserta didik baik di kelas A sendiri maupun seluruh peserta didik dimana saja berada dapat memetik butir-butir hikmah yakni berlomba-lomba dalam mencari ilmu, tentunya ilmu yang bermanfaat, agar hidupnya dapat tercerahkan serta mencerahkan, sehingga ia dapat menjadi seseorang yang   اقام بحقوق الله وخقوق عباده. Semoga kita semua termasuk orang-orang yang berjuang dalam ilmu pengetahuan terlebih ilmu agama, dan mendapatkan rahmat Allah swt.










DAFTAR PUSTAKA

Azzarnuji, Burhanuddin ,Ta’limul muta’allim, Perpustakaan syaikh salim bin sa’id nubhan
Nur Uhbiyati dkk., 1997,  Ilmu Pendidikan Islam I, Bandung: Pustaka Setia,
Asyari, hasyim. Adabul Al_‘Alim Wa-almutaaallim (Pustaka  Al-Islam:Tebbu Ireng Jombang)
Asrori, A.Ma’ruf,1993, Etika BelajarBagi Penuntut Ilmu, (Al-miftah: Surabaya)
Bahreisy, salim, 1990,Tarjamah Riyadhussalihin bab II (PT.Al-ma’arif Bandung)
Ibnu Jamaah Al-Kinani, 2004, Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim fi Adabil ‘Alim wal Muta’allim,. (Sumber : Majalah As-Syari’ah No.07)



[1] (H.R) Abu Daud no 3642 dan Attirmidzi no.2682 dan dinyatakan shahih oleh Al-abani.
[2] Diambil dari Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim fi Adabil ‘Alim wal Muta’allim, Ibnu Jamaah Al-Kinani. Sumber : Majalah As-Syari’ah No.07/1425 H/2004 Hal.1.
[3] Dr. Abdullah Al Syurikah, Imam dan Khatib Masjid Ad Duwailah, Kuwait.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar