BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Ilmu merupakan
sebuah sarana yang digunakan manusia untuk mengenal tuhan yang maha esa, ia
merupakan sebuah lentera bagi umat manusia dalam kegelapan, juga pelepas dahaga
dalam kehausan,betapa tidak, dengan ilmu
manusia dapat mengenal diri dan tuhannya, dengan ilmu pula manusia dapat
berbagi kepada insan lain bagai mana cara mengenal tuhannya, dan sudah barang
tentu manusia tersebut terjamin hidup dan matinya ada dalam keharibaan Allah SWT.
Pencari ilmu
memiliki berbagai keutamaan, diantaranya mereka akan mendapat jaminan dari
Allah SWT, bahwa ia akan dipermudah jalannya
menuju surga oleh Allah SWT, baru saja ia keluar dari rumahnya ia akan
mendapatkan pahala besar seperti pahala haji, permohonan ampun dari segala hal didunia tak terkecuali, dan berkah
yang diberikan oleh Allah SWT. Hal itu tidak lain adalah merupakan sebuah kekuatan
ilmu dalam meninggikan subjuctivitas pemiliknya.
Ahli ilmu
disebut sebagai Al-ulama, ia merupakan title bagi seseorang yang telah memahami
ilmu-ilmu Allah, dan dengan ilmunya tersebut ia dapat lebih dekat dengan Allah
swt. Kehormatan besar bagi siapa saja yang telah mendapatkan title ulama karena
terdapat sebuah hadits yang menyebutkan ورثةالانبياء
العلماءulama adalah pewaris para nabi, sedangkan tak ada lagi
tingkatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkatan kenabian maka
begitupun tak adalagi tingkatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkatan
para Ulama.
Namun tidak mudah untuk mendapatkan title tersebut, masih terdapat
berbagai syarat yang harus dilalui salah satu diantaranya adalah Amal,
seseorang telah akan mencapai tingkatan ulama apabila ia telah mengamalkan
ilmunya lebih-lebih ia menyalurkannya pada orang lain. Terdapat beberapa posisi
dan kelebihan yang dijanjikan oleh Rasulullah kepada Ahli warisnya yakni para
Ulama. Dan hal itu telah terangkum dalam makalah ini yang merupakan teala’ah
dari kitab Adabul ‘Alim walmuta’allim .
B.
Rumusan masalah
a.
Apakah
keutamaan mencari ilmu?
b.
Seberapa
pentingkah Amal sebagai syarat mutlak untuk mendapatkan gelar Ulama?
c.
Apakah
makna implisit dan explisit dari Ulama sebagai pewaris para nabi?
d.
Keutamaan
apakah yang di garansikan kepada para Ulama?
C.
Tujuan dari pembahasan
Point-point diatas yakni agar kita dapat mengetahui Apakah
keutamaan para pencari ilmu serta seberapa urgen posisi amal bagi para penuntu
ilmu dan orang yang berilmu agar mendapat gelar Al-Ulama beserta tingkatannya?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Keutamaan Mencari Ilmu
Ilmu merupakan sebuah substansi pokok yang harus di cari dan di
asah, sebagaimana hadits Rasul طلب العلم فريضة على كل مسلم و مسلمة Mencari ilmu adalah kewajiban bagi setiap orang
Islam laki-laki dan perempuan,keberadaanya
menuai berkah dan hasanah, setiap insan didunia diwajibkan untuk mencarinya dan
menjadikannya sebagai pedoman, ranah kewajiban mencarinya berpusat pada ilmu
Agama sebagai ilmu yang bersifat fardhu a’in, sedangkan yang lainnya
digolongkan pada fardu kifayah.
Dalam kamus besar bahasa arab disebutkan bahwa pencari ilmu adalah الطالب yang merupaakn isim fa’il dariطلب يطلب طلباyang bermakna mencari,
menuntut, meminta sesuatu. Lebih spesifik kepada para penuntut atau
pencari ilmu maka kamus bahasa menggabungnya dengan kata العلم yang makna
spesifiknya adalah siswa,siswi , mahasiswa atau mahasiswi, sedangkan bahasa
salafnya dikenal dengan sebutan santri.
Berbicara
kewajiban mencari ilmu dan keutamaan mencarinya, adabul alim muta’allim serta
ta’limul mutaallim sebagai kitab yang dikenal sebagai kitab kode etik (panduan)
santri di pesantren mengutip beberapa hadits Rasulullah yang menerangkan
tentang keutamaan-keutamaan mencari ilmu baik yang bersifat dunyawiah ataupun
ukhrawiyah, salah satunya adalah :
و طالب العلم يستغفر له كل شيء حتى الحوت في البحر
“Orang yang
mencari ilmu itu akan dimintakan ampun oleh setiap sesuatu yang ada dimuka bumi
ini sampai ikan-ikan yang berada di lautan”
Dari hadits di
atas dapat kita ambil gambaran bahwa para pencari ilmu akan dimohonkan ampun oleh
segala sesuatu didunia ini tak terkecuali, hingga ikan-ikan dilautan, hadits
lain menyebutkan :من سلك طريقا يطلب فيه علما سلك الله
بهطريقا من طرق الجنة
Barang siapa
yang menempuhsuatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mempermudahkan
jalannya kesurga.
Makna At-thariq
diatas dapat dimaknai dua substansi pertama sebagai jalan secara konkrit yakni pertama, bermakna jalan yang
diinjak oleh kaki, seperti orang yang pergi dari rumahnya ke sekolah/universitas untuk menuntut ilmu.
Kedua, bermakna jalan dalam
arti abstrak yaitu mencari ilmu dengan membaca buku, internet, mendengar
ceramah radio dll., tanpa harus keluar dari rumahnya (syarahRiyâdh al-Shâlihîn,
Muhammad al-Utsaimin
Suatu bukti
nyata bahwa ilmu memiliki kekuatan yang nyata dalam meninggikan derajat para
pemiliknya, betapapun seseorang baru keluar dari rumahnya melangkah untuk
mencari ilmuAgama maka adalah sebuah garansi yang nyata dari Allah bahwa ia
akan dijamin akan dimudahkan jalannya menuju surga, bagaimana jika seseorang
mencari ilmu terus menerus dan secara
berkesinambungan? Ada berapakah pahala yang akan Allah lipat gandakan atasnya.
Sebagai bukti pendukung dari
steatment ini, kitab ‘Adabul ‘alim wal
mutaallim mengutip pula beberapa hadits yang mendukung atas utamanya para pencari
ilmu, diantaranya:
من غدا إلى
المسجد لا يريد إلا أن يتعلم خيرا أو يعلمه كان له كاجر حج تام
“Barang
siapa yang berangkat pergi di pagi hari untuk kemasjid, sementara dia tidak
menghendaki sesuatu kecuali untuk mempelajari kebaikan atau untuk mengajarkan
kebaikan, maka berhak memperoleh pahala seperti pahalanya orang yang melakukan
ibadah haji secara sempurna”.
من غدا لطلب العلم صلت عليه الملائكة وبورك له في معيشته
“Barang siapa berangkat pergi di pagi hari
dengan tujuan mencari ilmu, maka para malaikat akan mendo’akannya dan diberkahi
kehidupannya“.
Hadits diatas
semakin memperjelas posisi para pencari
ilmu, yang mana Allah memberikan beberapa posisi tinggi dan reward yang
berlimpah bagi mereka,baik pada saat mereka baru memulai langkah untuk
mengenyam sebuah pendidikan ataupun setelah mereka mendalaminya, hal itu mengapa
posisi para ulama hampir disetarakan dengan posisi Rasulullah, dikarenakan
jasa-jasanya dan pengabdiannya terhadap ilmu pengetahuan. Bayangkan seseorang
yang dengan tulus mencari ilmu tanpa diwajibkan untuk mendapatkannya saja sudah
mendapatkan ribuan pahala bahkan tak terhitung adanya, bagai mana dengan para
ulama yang senantiasa berkecimpung dalam dunia pendidikan yang tak hanya
menjadi pencari namun sebagai pemberi dan penyebar dengan beberapa pengorbanan
yang mereka tempuh, maka mampukah kita menghitung pahala mereka?.
B.
Amal Sebagai Syarat
atas Gelar Ulama.
Ilmu tanpa amal bagai pohon tanpa buah (العلم بلا عمل كشجر بلا ثمر), begitulah pepatah Arab menyebutkan , sesuatu yang dianggap
percuma jika seseorang berilmu namun ilmunya
hanya dijadikan sebagai koleksi semata tak ada niatan untu mengamalkan,
baik untuk dirinya sendiri lebih-lebih pada orang lain, maka hal itu sama saja
seperti sebuah pohon yang tinggi menjulang dan rindang tapi tidak berbuah
sehingga sedikit kemanfaatannya bahkan cenderung tidak ada.
Seseorang akan mendapatkan gelar Al-Ulama
apabila ia telah melewati fase ini karena definisi Ulama secara Umum adalahالعالم من عمل بعلمهم Seorang ulama adalah mereka
yang melakukan segala sesuatu berdasarkan ilmunya, atau orang yang mengamalkan
ilmunya, telah jelas sekali bahwa seseorang akan mendapatkan gelar Ulama
apabila ia telah mengalami fase Amal, baik mengamalkan untuk dirinya sendiri
ataupun menyebarkannya pada orang lain, mengamalkan pada diri sendiri dalam
artian “ia” melakukan tindakan dengan mengamalkan ilmunya, sedangkan
mengamalkan bagi orang lain dalam artian “ia” menyebarkannya,dan tidak
menjadikan ilmunya sebagai koleksi semata. Allah sangat membenci orang-orang
yang menyembunyikan lmu, sebagaimana hadits dari ibnu majjah berikut :
من كتم علما
الجمه الله بلجام من النا ر
“ Barang siapa yang menyembunyiakan ilmu, Allah
akan mengekang dengan kekangan berapi”.
Seorang ulama terjauh dari ancaman hadits
diatas karena ia akan senantiasa mengamalkan ilmunya, baik bagi dirinya sendiri
ataupun terhadap orang lain.
Amal merupakan ujung ilmu, karena Amal
merupakan buah dari ilmu tersebut, sebagaiana disebutkan dalam hadits nabi :
ة فمن ظفر به سعد ومن فاته خسروغاية العلم العمل به لاءنه ثمرته
وفاءدة العمر وزادالاخر
“Batas dari ilmu itu
adalah amal,karena ia merupakan buah darinya, dan faidah umur serta penambah
bekal untuk akhirat, barang siapa berhasil mendapatkannya maka ia akan bahagia,
barang siapa yang gagal maka ia merugi”
Dari hadits
diatas dapat kita petik bahwa umal merupakan sebuah urgensi yang mengiringi
kehadiran ilmu, ilmu no scene tanpa adanya feedback dari amal. Selain sebagai
buah dari ilmu, amal juga membantu kita dalam rangka memperpanjang umur kita,
memperpanjang bukan dalam artian memanjangkan waktu satu hari menjadi dua hari
namun memanjangkan manfaat didalamnya, sehingga satu hari seakan-akan menjadi
seratus hari, hal ini disebabkan karena kita menggunakan satu hari tersebut
dengan amal-amal perbuatan yang sesuai dengan ilmu Allah swt.
C.
Ulama Sebagai Pewaris Para Nabi.
Ulama
adalah sosok sentral dalam dunia pendidikan islam, dimana kedudukannya hampir
disamakan dengan posisi Rasulullah saw, ulama mendapatkan gelar tertinggi yang
sakral di antara para hamba-hamba Allah, hal itu tidak lain adalah karena
pengabdiannya atas ilmu dan ilmu tersebut dapat mebawa hikmah bagi yang
mengikutinya untuk mengenal Allah swt lebih jauh lagi, Rasul bersabda bahwa
posisi ulama adalah posisi puncak dari posisi hamba-hamba Allah yang
bertaqwa,dimana dalam posisi inilah segala hal akan diperoleh,keagungan, kemulyaan,
kebangsawanan dan kebanggaan diri tertancap didalamnya, sehingga seorang Ulama
akan tercukupi dengan gelar tersebut, sebagaimana hadits Rasul:
ألعلماء ورثة الأنبياء , وحسبك بهذه الدرجات مجدا
وفخرا وبهذه الرتبة شرفا وذكرا, وإذا كان لا رتبة فوق النبوة فلا شرف فوق شرف
الوراثة لتلك الرتبة
”‘Ulama’ adalah
pewaris para Nabi, cukuplah bagimu dengan derajat ini untuk memperoleh sebuah
keagunaan dan kebanggaan diri.Dan (cukuplah bagimu) dengan tingkatan ini untuk
memperoleh kemuliaan dan panggilan yang agung.Ketika sudah tidak ada lagi
tingkatan di atas tingkat kenabian, maka tidak ada satupun kemuliaan yang
melebihi kemuliaan warisantingkatan tersebu”.
Hadits diatas
menggambarkan betapa mulianya seorang Ulama dalam perspektif islam ketika kita
tahu bahwa, mereka dianggap sebagai pewaris para nabi, sehingga keagungan yang
mereka miliki hamper disamakan dengan keagungan Rasul atas manusia. Namun perlu
digaris bawahi bahwa waris disini bukan mengarah terhadap harta ataupun
kekuasaan, akan tetapi lebih mengarah kepada tanggung jawab dalam menyebarkan
ilmu, didalam hadits lain di jelaskan :
ان الانبياء لم
يورثوا دينارا ولا درهاما وانما ورث العلم فمن اخذه اخذ بحظ وا فر
Ulama adalah
pewaris para nabi, mereka(para nabi)tidak mewariskan dinar atau dirham akan
tetapi mereka mewariskan ilmu, barang siapa yang mengambilnya (ilmu)maka
sungguh dia telah mengambil bagian yang sangat besar[1].
D.
Makna Implisit dan Explisit dari Ulama Sebagai
Pewaris Para Nabi.
Dalam hal ini makna implisit dari ulama adalah bahwa bagaimana
makna kata ulama secara ketatabahasaan yakni kata Ulama secara bahasa adalah
bentuk jamak dari kata ‘aalim yang berupa isim faildari kata
dasar ‘ilmu yang berarti orang yang berilmu. Jadi, kata ulama memiliki
arti sebagai orang-orang yang mempunyai ilmu.Namun Ulama di sini dititik
tekankan kepada orang-orang yang mencari ilmu lantas mereka juga mengamalkan
ilmu yang dimiliki. Dengan cara diajarkan kepada orang dengan rasa penuh
keikhlasan yang memantapkan niat untuk semata-mata melakukannya di jalan yang
diridhoi Allah SWT saja. Akan berbeda jika kemudian membahas tentang bagaimana
makna eksplisit ulama itu sendiri.dalam hal ini kita akan melihat seperti apa
dan bagaimana ulama secara keseluruhan berikut tentang pandangan-pandangan
muslim tentang apakah ulama itu.
Apabila kita mengacu pada ungkapan
hadits: al-‘ulama’ waratsatu al-anbiyaa’ (ulama’ merupakan
pewaris para nabi) ditambah dalil perintah dalam al-Qur’an: Athii’uu
Allaaha wa athii’uu al-Rasuul wa ‘uli al-amri minkum (taatlah kalian
pada Allah dan Taatlah kalian kepada Rasul dan taatlah pada ulil amri kalian)
tentu dalil ini dapat dijadikan hujjah akan keharusan umat
untuk taat pada ulama. Namun apabila kita melihat fenomena ketidaktaatan ummat
tersebut diatas, bisa saja muncul dugaan bahwa ulama telah ditinggalkan atau
sudah tidak dipercaya lagi oleh ummatnya, sehingga masing-masing mengambil
jalannya sendiri.
Selain itu, tidak dapat dipungkiri bahwa ketidak percayaan atau ketidak taatan ummat kepada ulama tersebut
bertumpu pada permasalahan legitimasi/otoritas dan ketaatan. Apakah orang-orang
yang bergelar Kyai, KH atau Ustadz dalam masyarakat adalah orang-orang yang
mempunyai kapasitas sebagai ulama? Berkaitan dengan ketaatan masyarakat,
tentunya tidak lepas dari persepsi mereka (baik masyarakat maupun ulama’)
terhadap eksistensi lembaga ulama itu sendiri. Namun berbeda
halnya ketika kita meyaksikan bagaimana pendapat masyarakat yang pedalaman atau
yang tinggal di sebuah perdesaan. Mereka mungkin akan lebih mempercayai adanya
ulama tersebut. Karena dalam hal ini tingkat kepercayaan mereka terhadap agama
bisa dibilang lebih dari pada orang yang hidup di perkotaan dan lebih dekat
terhadap urusan dunia.
Kemudian jika
kita bicara tentang makna implisit serta eksplisit ulama sebagai pewaris para
nabi, maka kita seharusnya juga akan melihat seperti apa sifat-sifat para nabi
(Shiddiq, Amanah, Tabligh, fathanah), bagaimana perilaku para nabi dan
karakteristik lainnya. Sehingga ada beberapa karakteristik yang telah didapat
oleh peneliti dari masyarakat muslim. Yakni para ulama adalah seharusnya:
·
Ilmunya tidak
dibuat mencari syarat dunia.
·
Ucapannya sama
seperti perbuatannya.
·
Melakukan
perbuatan terlebih dahulu perbuatan yang akan ia perintahkan.
·
Ketika
mencegah seseorang melakukan maka ia mencegah terlebih dahulu.
·
Faham penuh
akan ayat-ayat Al-Qur’an,
·
Mengajar kitab-kitab salaf: fiqh, tajwid, tauhid dsb;
·
Mempunyai halaqoh/kelompok pengajian;
·
Melaksanakan rukun-rukun Islam;
·
Kehidupan rumah tangganya damai, dan anggota keluarganya hidup dalam
bingkai norma agama;
·
Senantiasa berdzikir dan ber-istighfar (memohon ampunan);
·
Harus bisa menjadi panutan bagi pengikutnya atau masyarakat;
·
Harus bisa memberi solusi atas problem kehidupan masyarakat/pengikutnya;
·
Harus bisa amar ma’ruf nahi munkar;
·
Ulul albab (orang yang selalu
berdzikir dan memikirkan ayat-ayat Allah);
·
Dicintai oleh Allah (menjadi kekasih Allah), menjadi Waliullah;
Demikianlah beberapa karakteristik yang menurut
masyarakat muslim seharusnya dimiliki oleh seorang ulama.
E.
Keutamaan-Keutamaan
Para Ulama
Seperti yang
telah disebutkan di dalam kitab ‘Adabul ‘alim wal-mutaallim, bahwa ada beberapa
keutamaan yang akan digaransikan kepada orang yang memiliki ilmu serta
mengamalkannya (ulama) baik di dunia maupun diakhirat, di dunia ia akan memiliki
keutamaan-keutamaan mendekati keutamaan seorang nabi yaitu serta para ulama
memiliki gelar sebagai pewaris para nabi, juga kedudukannya disamakan seperti
kedudukan nabi, sebagaimana hadits rasul افضل العالم على العابد كفضلي على ادناكم “keutamaan
para ulama bagai keutamaanku atas kalian semua”, subhanallah,,, sungguh besar
kesempurnaan para ulama, ketika seorang Rasul mengakui akan ketinggian
derajatnya.
Selain dari itu
dosa-dosanya akan diampuni sampai ikan-ikan di lautpun akan ikut mendoakan,
akan disejahterakan/diberkahhi hidupnya, dan akan mendapatkan pahala
sebagaimana pahala ibadah haji manusia yang mabrur/ sempurna.
Terdapat beberapa pendapat para ulama mengenai hal ini
yakni :
Abu
Muslim Al-Khaulani rahimahullah berkata : “Para ulama di muka bumi seperti
bintang-bintang di langit. Bila bintang-bintang itu tampak, maka orang-orang
mengambil petunjuk dengan bintang-bintang itu. dan bila bintang-bintang itu
tidak terlihat oleh mereka, mereka menjadi bingung”
Abul Aswad Ad-Duali rahimahullah berkata : “Tidak ada sesuatu yang
lebih mulia dari ilmu. Para raja adalah hakim atas manusia sedangkan para ulama
adalah hakim atas raja-raja”.
Wahab bin Munabbih rahimahullah berkata : “Akan lahir dari ilmu :
kemuliaan walaupun orangnya hina, kekuatan walaupun orangnya lemah, kedekatan
walaupun orangnya jauh, kekayaan walaupun orangnya fakir, dan kewibawaan
walaupun orangnya tawadhu”.
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata : “Orang yang paling
tinggi kedudukannya di sisi Allah Subhaanahu wa Ta’ala adalah orang yang
kedudukannya berada di antara Allah dan hamba-hamba-Nya. Mereka adalah para
nabi dan para ulama”[2].
Imam As-Syafi’i rahimahullah
berkata: “Bila yang disebut wali Allah itu bukanlah para ulama, aku tidak tahu
siapa lagi yang dimaksudkan dengan wali Allah itu.”
Imam As-Syatibi rahimahullah berkata: “Telah
tsabit (sah) dalam pokok agama ini bahwa orang alim di kalangan manusia itu
menduduki posisi nabi (dalam membina umat), dan para ulama adalah pewaris
nabi-nabi.
Sufyan Ibnu ‘Uyainah berkata: “Orang
yang paling tinggi kedudukannya di sisi Allah adalah orang yang kedudukannya di
antara Allah dan para hambaNya, mereka adalah para nabi dan para ulama.” At-Tastari
berkata: “Barangsiapa yang ingin mengetahui majelisnya para nabi, lihatlah
majelisnya para ulama, seperti itulah majelis mereka.”
Hasan Al-Bashri berkata: “Ulama itu
bagaikan air, di mana mereka berada di situlah mereka memberi manfaat bagi
manusia.” Hasan Al-Bashri juga berkata: “Andai tidak ada ulama yang membimbing,
niscaya manusia akan berperilaku layaknya hewan.”Sa’id bin Jabir ditanya: “Apa
ciri-ciri keruntuhan manusia?” Ia menjawab: “Jika para ulama di tengah-tengah
mereka telah hilang, runtuhlah para manusia.” Ibnu Taimiyyah berkata: “Dan
orang-orang yang memiliki lisan yang jujur di kalangan umat ini, yang dengannya
mereka disanjung dan dihormati di tengah masyarakat, merekalah para ulama
pembawa hidayah, kesalahan mereka sangat sedikit dibandingkan kebenaran yang
mereka sampaikan”[3].
Dari beberapa
paparan diatas sudah merupakan keyword bagi kita untuk emngakui keutamaan para
lama didunia yang penuh dengan rahmat, serta ampunan Allah swt, Sedangkan
diakhirat nanti, sudah barang tentu mereka akan memasuki surga naim bersama
wali-waliullah yang lain, dan merupakan jaminan Allah swt.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari beberapa
pernyataan dan paparan diatas dapat di simpulkan bahwa ilmu dalam kajian
subjectif akan dapat mengangkat derajat pemiliknya baik pemilik dalam tingkatan
beginner dalam artian masih baru ,memulai mencari ilmu hingga mereka
–mereka yang telah bergelut lama dalam dunia pendidikan serta mengamalkan baik
bagi dirinya sendiri ataupun terhadap orang lain, atau yang biasa di sebut
Al-‘Ulama, namun terdapat beberapa criteria sehingga disebut seorang ulama. Dan
ketika seseorang telah mencapai tingkatan ulama maka posisinya hampir disamakan
dengan posisi nabi dan keberadaannya dianggap seperti bulan menyinari
bintang-bintang.
B.
Saran
Sehingga dapat
diharapkan dengan dirampungkannya makalah ini, maka peserta didik baik di kelas
A sendiri maupun seluruh peserta didik dimana saja berada dapat memetik butir-butir
hikmah yakni berlomba-lomba dalam mencari ilmu, tentunya ilmu yang bermanfaat,
agar hidupnya dapat tercerahkan serta mencerahkan, sehingga ia dapat menjadi
seseorang yang اقام بحقوق الله وخقوق
عباده. Semoga kita
semua termasuk orang-orang yang berjuang dalam ilmu pengetahuan terlebih ilmu
agama, dan mendapatkan rahmat Allah swt.
DAFTAR
PUSTAKA
Azzarnuji, Burhanuddin ,Ta’limul muta’allim, Perpustakaan syaikh
salim bin sa’id nubhan
Nur Uhbiyati dkk., 1997, Ilmu Pendidikan Islam I, Bandung:
Pustaka Setia,
Asyari, hasyim. Adabul Al_‘Alim
Wa-almutaaallim (Pustaka Al-Islam:Tebbu
Ireng Jombang)
Asrori, A.Ma’ruf,1993, Etika
BelajarBagi Penuntut Ilmu, (Al-miftah: Surabaya)
Bahreisy,
salim, 1990,Tarjamah Riyadhussalihin bab II (PT.Al-ma’arif Bandung)
Ibnu
Jamaah Al-Kinani, 2004, Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim fi Adabil ‘Alim wal
Muta’allim,. (Sumber : Majalah As-Syari’ah No.07)
[1]
(H.R) Abu Daud no 3642 dan Attirmidzi no.2682 dan dinyatakan shahih oleh
Al-abani.
[2] Diambil dari Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim fi Adabil ‘Alim wal
Muta’allim, Ibnu Jamaah Al-Kinani. Sumber : Majalah As-Syari’ah No.07/1425
H/2004 Hal.1.
[3] Dr.
Abdullah Al Syurikah, Imam dan Khatib Masjid Ad Duwailah, Kuwait.